Akhlak Islami Dalam Bertetangga
Demikian penting dan
besarnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim, Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya) :
"وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
|
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki
hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36)
Hak dan kedudukan
tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap bertetangga
dijadikan sebagai indikator keimanan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
|
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim
70)
Bahkan besar dan
pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah ditekankan,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَا زَالَ
جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
|
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang
tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta
waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)
Syaikh Abdurrahman As
Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar
haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap
tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah,
lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik
berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As Sa’di, 1/177)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam juga bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ
|
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah
yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di
sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At
Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah 103)
Ancaman Atas Sikap Buruk
Kepada Tetangga
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti
tetangga. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman,
tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau
menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘”
(HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Bahkan mengganggu
tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka. Ada
seorang sahabat berkata:
يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat
malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah
bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim dalam
Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil
Mufrad 88)
Bentuk-Bentuk Perbuatan
Baik Kepada Tetangga
Semua bentuk akhlak yang baik adalah
sikap yang selayaknya diberikan kepada tetangga kita. Diantaranya adalah
bersedekah kepada tetangga jika memang membutuhkan. Bahkan anjuran bersedekah
kepada tetangga ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam :
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya
sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra
18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)
Beliau juga bersabda:
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ
“Jika engkau memasak
sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah
sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766)
Dan juga segala bentuk
akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam, menjenguknya ketika sakit,
membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka cerah di depannya,
menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.
Jika Bertetangga Dengan
Non-Muslim
Dalam firman Allah
Ta’ala pada surat An Nisa ayat 36 di atas, tentang anjuran berbuat baik pada
tetangga, disebutkan dua jenis tetangga. Yaitu al jaar dzul qurbaa (tetangga
dekat) dan al jaar al junub (tetangga jauh). Ibnu Katsir
menjelaskan tafsir dua jenis tetangga ini: “Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa al jaar dzul qurbaa adalah tetangga yang
masih ada hubungan kekerabatan dan al jaar al junub adalah
tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan”. Beliau juga menjelaskan:
“Dan Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al Bikali bahwa al jaar dzul
qurbaa adalah muslim dan al jaar al junub adalah
Yahudi dan Nasrani” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/298).
Anjuran berbuat baik
kepada tetangga berlaku secara umum kepada setiap orang yang disebut tetangga,
bagaimana pun keadaannya. Ketika menjelaskan hadits
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang
tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta
waris”
Al ‘Aini menuturkan:
“Kata al jaar (tetangga) di sini mencakup muslim, kafir, ahli
ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang jahat, orang pendatang, orang asli
pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang yang suka mengganggu, karib
kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak jauh” (Umdatul Qaari,
22/108)
Demikianlah yang
dilakukan para salafus shalih. Dikisahkan dari Abdullah bin ‘Amr Al Ash:
أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه: أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالجارحتى ظننت أنه سيورثه
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau
lalu berkata kepada seorang pemuda: ‘akan aku hadiahkan sebagian untuk tetangga
kita yang orang Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah? Engkau hadiahkan kepada
tetangga kita orang Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda ‘Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga,
hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris‘”
(HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad 78/105, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Oleh karena itu para
ulama menjelaskan bahwa tetangga itu ada tiga macam:
Tetangga muslim yang
memiliki hubungan kerabat. Maka ia memiliki 3 hak, yaitu: hak tetangga, hak
kekerabatan, dan hak sesama muslim.
Tetangga muslim yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan. Maka ia memiliki 2 hak, yaitu: hak
tetangga, dan hak sesama muslim.
Tetangga non-muslim.
Maka ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.