Minggu, 23 November 2014
Kamis, 13 November 2014
KISAH SECANGKIR KOPI
KISAH SECANGKIR KOPI
Suatu hari di sebuah universitas terkenal. Sekelompok alumnus
bertamu di rumah dosen senior, setelah bertahun-tahun mereka lulus. Setelah
mereka semua menggapai kesuksesan, kedudukan yang tinggi serta kemapanan
ekonomi dan sosial.
Setelah saling menyapa dan berbasa basi, masing-masing mereka
mulai mengeluhkan pekerjaannya. Jadwal yang begitu padat, tugas yang menumpuk
dan banyak beban lainnya yang seringkali membuat mereka stress.
Sejenak sang dosen masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian,
beliau keluar sambil membawa nampan di atasnya teko besar berisikan kopi dan
berbagai jenis cangkir.
Ada cangkir-cangkir keramik tiongkok yang mewah. Cangkir-cangkir
kristal. Cangkir-cangkir melamin. Dan cangkir-cangkir plastik. Sebagian cangkir
tersebut luar biasa indahnya. Ukirannya, warnanya dan harganya yang waahh.
Namun ada juga cangkir plastik yang biasanya berada di rumah orang-orang yang
amat miskin.
Sang dosen berkata, “Silahkan.. masing-masing menuangkan kopinya
sendiri”.
Setelah setiap mahasiswa memegang cangkirnya, sang dosen berkata,
“Tidakkah kalian perhatikan bahwa hanya cangkir-cangkir mewah saja yang kalian
pilih? Kalian enggan mengambil cangkir-cangkir yang biasa?
Manusiawi sebenarnya, saat masing-masing dari kalian berusaha
mendapatkan yang paling istimewa. Namun seringkali itulah yang membuat kalian
menjadi gelisah dan stress.
Sejatinya yang kalian butuhkan adalah kopi, bukan cangkirnya.
Akan tetapi kalian tergiur dengan cangkir-cangkir yang mewah.
Terus perhatikanlah, setelah masing-masing kalian memegang cangkir tersebut,
kalian akan terus berusaha mencermati cangkir yang dipegang orang lain!.
Andaikan kehidupan adalah kopi, maka pekerjaan, harta dan
kedudukan sosial adalah cangkir-cangkirnya.
Jadi, hal-hal itu hanyalah perkakas yang membungkus kehidupan.
Adapun kehidupan (kopi) itu sendiri, ya tetap itu-itu saja, tidak berubah.
Saat konsentrasi kita tersedot kepada cangkir, maka saat itu
pula kita akan kehilangan kesempatan untuk menikmati kopi.
Karena itu kunasehatkan pada kalian, jangan terlalu
memperhatikan cangkir, akan tetapi nikmatilah kopinya…”.
Sejatinya, inilah penyakit yang diderita manusia. Banyak orang
yang tidak bersyukur kepada Allah atas apa yang ia miliki, setinggi apapun
kesuksesannya. Sebab ia selalu membandingkannya dengan apa yang dimiliki orang
lain.
Setelah menikah dengan seorang wanita cantik yang berakhlak
mulia, ia selalu berfikir bahwa orang lain menikah dengan wanita yang lebih
istimewa dari istrinya.
Sudah tinggal di rumah sendiri, namun selalu membayangkan bahwa
orang lain rumahnya lebih mewah dari rumah sendiri.
Ia bukannya menikmati kehidupannya beserta istri dan
anak-anaknya. Tapi justru selalu memikirkan apa yang dimiliki orang lain,
seraya berkata, “Aku belum punya apa yang mereka punya”.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
"مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ؛ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا"
"Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman
dalam rumahnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk hari itu; seakan-akan
ia telah memiliki dunia seisinya". (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh
al-Albani).
✒Seorang bijak berpetuah,
“Alangkah anehnya kebanyakan manusia! Mereka korbankan kesehatan untuk
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Setelah terkumpul, gantian mereka
gunakan harta tersebut untuk mengembalikan kesehatannya yang telah hilang!
Mereka selalu gelisah memikirkan masa depan, namun melupakan
hari ini. Akibatnya, mereka tidak menikmati hari ini dan tidak pula hidup di
masa datang.
Mereka senantiasa melihat apa yang dimiliki orang lain, namun
tidak pernah melihat apa yang dimilikinya sendiri. Akibatnya, ia tidak bisa
meraih apa yang dimiliki orang lain dan tidak pula bisa menikmati milik
sendiri.
Mereka diciptakan untuk satu tujuan, yakni beribadah. Dunia
diciptakan untuk mereka gunakan sebagai sarana beribadah. Namun justru sarana
tersebut malah melalaikan mereka dari tujuan utama”.
Maka, mari kita nikmati kopi kehidupan tersebut, apapun
cangkirnya…
Ustadz Musyaffa Ad Dariny
13 Nopember 2014