Sok Alim - Sok Sholeh - Sok Paling Bener - Munafik ?
Kalau setiap mengerjakan amalan shalih dan meninggalkan kemungkaran yang terang-terangan dikatakan “Sok Alim - Sok Sholeh - Sok Bener”.
Apa mesti harus sembunyi-sembunyi setiap mengerjakan amalan shalih dan meninggalkan kemungkaran dikatakan agar tidak dikatakan “Sok Alim - Sok Sholeh - Sok Bener”?
Kalau perbuatan maksiat yang sembunyi-sembunyi dikatakan “munafik”.
Apa mesti harus terang-terangan setiap mengerjakan amalan maksiat agar tidak dikatakan “munafik”?
Berkata salah seorang salafush shaalih:“Orang munafik saat ini lebih jelek dari orang munafik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu kemunafikan disembunyikan, sedangkan saat ini terang-terangan.”
Sungguh justru ini lebih parah! inilah lebih parah… Apakah ini yang hendak mereka inginkan, wahai yang berkata: “jangan muna’ deh”! (dengan maksud, agar SEGALA KEBURUKAN HARUS DITAMPAKKAN, sebagaimana kebaikan ditampakkan)??
Kita ini beramal shaalih (baik itu mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan), bukan untuk mendapatkan laqob baik; bukan pula untuk menghindari laqob buruk. Justru jika tujuan kita untuk mendapatkan/menghindari laqab, maka kita telah melakukan riyaa’ dalam amal kita. Akan tetapi hendaknya kita melakukan semuanya KARENA ALLoH, baik orang memandang “sok shalih” atau “muna”.
Kalaupun kita dapati ORANG LAIN tergelincir (atau bahkan sengaja) terjatuh kedalam maksiat, dan dia menyembunyikannya; dan yang nampak padanya yang baik-baik… Maka jangan langsung kita katakan: “muna lagi sok shalih”… Apakah kita pastikan ia bertabiat seperti yahudi dan munafiq? yaitu kita gabungkan dua sifat buruk padanya; sifat munafiq; yang hanya menampakan zhahir keislaman, tapi menyembunyikan kekafiran; dan sifat yahudi, yang benar-benar tidak peduli terhadap diri sendiri; tapi malah suka menasehati?!
Sehingga tidak tersisa lagi seorang pun, bahkan diri kita, kecuali kalau berbuat maksiat (tergelincir, apalagi sengaja) maka harus ditampakkan (sehingga kita mewajibkan diri kita dan orang lain, kalau tergelincir pada maksiat maka HARUS DITAMPAKKAN maksiat tersebut) ?
Sehingga kalau ada tabiat dan perilaku buruk harus tetap senantiasa ditampakkan? dengan berdalih “setiap manusia itu pasti jatuh kepada dosa, wajar jika salah” dan berdalih “beginilah saya” ? Apa patut berdalih dengan “manusia pasti jatuh kepada dosa” dengan terus menerus mempertahankan dosa? Patutkah berdalih “beginilah saya” (tanpa mau berusaha mengubah diri kepada lebih baik, dan terus mempertahankan perilaku dan tabiat buruk)?
Maka hendaknya kita senantiasa bertaubat kepadaNya (dengan taubat yang benar) dan bertaqwa kepadaNya. [dan inipun bukan hendak menunjukkan diri ana, kalau ana ini adalah orang yang paling banyak bertaubat dan paling bertaqwa kepadaNya]
Semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar